Perkenalan alumnus Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung (ITB) angkatan 2001 ini dengan bisnis buah memang terbilang masih sebentar, sejak pertengahan 2010. Namun, perkenalannya dengan bisnis mulai dari berjualan pulsa, ponsel second, hingga pertanian sudah terjadi saat dia menjadi mahasiswa di Bandung.
Baginya kemudian, bisnis memasok buah-buahan ke gerai-gerai ritel besar macam Carrefour dan Superindo tidak ada nilai tambahnya, walau, dalam sebulan, Hamzah mampu menghasilkan omzet hingga Rp 400 juta. "Suplai buah cuma main di volume. Makanya, saya berpikir bagaimana cara menjual lebih kreatif," tutur penikmat hobi membaca dan bermain futsal ini.
Pengalaman Hamzah menunjukkan, sudah banyak toko buah tersebar di Jabodetabek. Ada yang skalanya besar. Ada juga yang skalanya kecil.
Ada yang pengelolaannya profesional pula. Sementara itu, masih ada pula yang pengelolaannya tradisional. "Saya ingin membuat skala minimarket, tapi profesional. Itu yang belum ada," kata pria kelahiran Samosir, Sumatera Utara, ini.
Pada bagian lain, masyarakat menengah perkotaan amat membutuhkan tempat berkumpul alias nongkrong. Kebetulan, saat ini, yang menyediakan tempat nongkrong adalah pengusaha dengan produk makanan cepat saji dan kopi. "Orang butuh suasananya saja. Tapi, yang menyajikan makanan sehat seperti buah belum ada," tutur mantan karyawan di bidang jaringan Telkomsel ini.
Maka dari itu, berbekal pengalaman tersebut, Hamzah meracik sekaligus mewujudkan ide tempat nongkrong yang menyajikan buah sebagai makanan sehat. "Kami hanya menjual buah," tuturnya.
Bar
Hamzah lebih lanjut menjelaskan gerai pertamanya dibuka di Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, pada Februari 2012. Di situ, ia membidik konsumen penghuni apartemen. "Kebanyakan dari mereka berusia muda dan gaul," katanya.
Sementara itu, gerai di Perumahan Taman Galaxi yang baru diperkenalkan kepada publik pada Senin (12/11/2012) lebih menyasar konsumen yang tinggal di perumahan tapak tanah. "Saya membidik konsumen horizontal yang berbeda dengan konsumen vertikal di apartemen," terangnya.
Selanjutnya, Hamzah mengaku menggunakan istilah "bar" untuk gerainya walaupun paham kalau istilah itu berkonotasi sebagai tempat nongkrong yang komplet dengan minuman beralkohol, rokok, bahkan narkoba, berikut kehidupan yang nyaris lebih banyak tidak berada di bawah sinar matahari.
Sudah barang tentu, kata Hamzah, mengusung konsep bar untuk bisnisnya berarti bebas dari minuman beralkohol. Rokok pun tidak tersedia di tempat pajangan produk.
Kendati begitu, pria yang juga senang main catur itu memberikan toleransi kalau ada tamu yang merokok. Kebiasaan itu bisa dilakukan di gerainya yang memiliki teras terbuka alias beratapkan langit. "Kalau di gerai dalam ruangan, pasti konsumen tidak boleh merokok. Lagi pula, kami tidak menyediakan rokok," katanya.
Lalu, bar bagi Hamzah menjadi berbeda dengan istilah "kafe". Menurutnya, di bar orang hanya menikmati makanan tergolong ringan seperti jus buah, buah potong segar, sop buah, rujak, dan sebagainya. "Menurut saya, kalau di kafe, orang bisa makan besar," tambahnya.
Pada bagian berikutnya, Hamzah yang memilih berwirausaha sebagai bagian dari pengembangan energi kreatifnya itu memaparkan harus merogoh fulus di kisaran Rp 120 juta untuk gerai yang berbentuk rumah toko (ruko). Untuk gerai berbentuk kios, banderol anggarannya lebih ramping, di kisaran Rp 60 juta. "Itu semua belum termasuk ongkos sewa tempat," kata anak kedua dari enam bersaudara yang mematok target membuka sepuluh gerai di Jakarta Timur dan Bekasi hingga akhir tahun ini.
Salah satu tantangan dalam mengelola bisnis ini, menurut Hamzah yang lahir pada 30 Maret 1983, adalah mengatur masuk keluarnya pasokan berbagai jenis buah dengan volume lebih kecil. Ia membandingkan dengan saat bergelut dengan bisnis suplai buah sebelumnya.
Menurutnya, di bisnis pemasok buah, volume yang diatur terbilang besar hingga ukuran berat ton. "Tapi, jenis buahnya sedikit. Biasanya mangga saja atau pepaya saja," katanya.
Sebaliknya, pada bisnis saat ini, ada lebih banyak jenis buah. Namun, volumenya paling tinggi cuma sekitar 60 kilogram. "Harus diatur kapan membeli buah, menjaga buahnya, memilih yang busuk, dan sebagainya," ujarnya.
Hal lain yang masih menjadi pekerjaan rumah pengagum konglomerat Chairul Tanjung ini adalah membuat inovasi di segi pengolahan produk menjadi menu-menu terbaru. Termasuk di sini, ia secara bertahap memperkenalkan usaha di dunia media sosial semacam Facebook dan Twitter.