Ketika Rakyat Ditinggal Wakilnya...
JAKARTA, KOMPAS.com — Sikap politisi Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono atau akrab disapa Ibas yang mundur dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat menambah daftar anggota Dewan yang meninggalkan tugas memperjuangkan nasib rakyat di Parlemen. Mereka lebih memilih memikirkan partai politik dibanding konstituen.
Sebelumnya, Ibas memutuskan untuk fokus menjalankan tugas sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokrat ketimbang tugasnya sebagai wakil rakyat. Menurut dia, tugas partai akan menyita banyak waktu, pikiran, dan energi sehingga ia khawatir tidak dapat menjalankan tugas di DPR dengan baik. Apalagi, Demokrat tengah dirundung masalah setelah elektabilitasnya terus terpuruk.
Sebelum Ibas, sejumlah politisi telah hengkang lebih dulu dari DPR. Mereka yakni politisi Partai Golkar Idrus Marham. Awalnya, dia menjadi anggota Komisi II dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sulawesi Selatan. Dia keluar lantaran ingin fokus mengurus partai setelah terpilih menjadi Sekjen Golkar.
Politisi lainnya, Jeffry Geovani. Awalnya, dia menjadi anggota Komisi I dari Fraksi Golkar. Politisi yang ketika itu mewakili Dapil Sumatera Barat I memilih keluar lantaran loncat ke Partai Nasdem.
Tiga politisi Golkar lainnya mengikuti langkah Jeffry. Mereka yakni Enggartiasto Lukita (Komisi I dari Dapil Jabar), Malka Amin (Komisi V dari Dapil Sulawesi Selatan), dan Mamat Rahayu (Komisi IX dari Dapil Banten).
Dua politisi dari parpol berbeda, yakni Akbar Faizal (dulu Partai Hanura, Komisi I dari Dapil Sulsel) dan Maiyasyak Johan (dulu PPP, Komisi I dari Dapil Sumut) juga memilih meninggalkan konstituen lantaran pindah ke Nasdem. Bahkan, tak sampai dua pekan di Nasdem, Maiyasyak loncat lagi ke Partai Golkar.
Tak hanya anggota, pimpinan DPR juga bersikap sama. Politisi Partai Keadilan Sejahtera Anis Matta menanggalkan jabatan Wakil Ketua DPR. Awalnya, dia masuk ke DPR mewakili Dapil Sulsel. Anis lalu keluar dari Parlemen untuk fokus membenahi PKS sebagai Presiden PKS. Dia menggantikan Luthfi Hasan Ishaaq yang terjerat kasus dugaan korupsi impor sapi.
Terkait sikap anggota DPR yang memilih mundur dari Parlemen untuk mengurus partai, akademisi Daoed Joesoef mengatakan, mereka seharusnya mencontoh intelektual-pejuang kemerdekaan India dan Presiden Partai Kongres Nehru. Sesudah dilantik menjadi Perdana Menteri India, Nehru pernah mengatakan, "When my loyality to my country begins, my loyality to my party ends."
Hal ini juga turut dijalankan secara konsekuen oleh pendiri bangsa kita, Soekarno. "Mereka sadar bahwa begitu disumpah menjadi perdana menteri (Nehru) dan presiden (Bung Karno), mereka menjadi pejabat dari negeri yang menghadapi aneka ragam masalah. Mereka dituntut bekerja penuh 24 jam sehari menangani masalah-masalah itu karena pada ketepatan solusinya itulah bergantung perbaikan nasib jutaan warga bangsanya," kata Daoed.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, mengatakan, salah satu permasalahan hengkangnya politisi dari Parlemen di tengah masa tugas ada di partai. Pengusungan seseorang hanya untuk menarik suara sebanyak-banyaknya tanpa melihat kemampuan. Dengan demikian, kata dia, proses komunikasi politik hanya kepada parpol, bukan konstituen.
Padahal, kata Ari, rakyat benar-benar menggantungkan harapan kepada mereka yang dipilih. "Konstituen dirugikan karena suara diberikan, tapi tidak ada pertanggungjawaban bekerja selama lima tahun," ucap dia ketika dihubungi, Jumat (15/2/2013).
Ari memprediksi masih ada lagi politisi yang akan meninggalkan Parlemen mendekati Pemilu 2014, utamanya anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pasalnya, hanya 10 parpol yang dinyatakan lolos menjadi peserta Pemilu 2014. Mereka akan keluar lantaran pindah parpol.
Apakah mereka masih layak untuk dipilih jika mencalonkan kembali di Pileg 2014? "Saya kira mereka tidak perlu dipilih lagi karena konstituen tidak dipikirkan," jawab Ari.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang mengatakan, mereka yang keluar karena pindah parpol jelas hanya mengejar kekuasaan di Pileg 2014. Mereka akan menyampaikan seribu satu alasan untuk membenarkan tindakannya. Padahal, kata dia, mereka hanya melihat di parpol mana dia bisa terpilih kembali.
"Ideologi partai, loyalitas ke partai tidak penting. Yang penting meraih kekuasaan. Orang seperti itu tidak layak dipercaya lagi. Bagaimana dia bisa bertanggung jawab kalau sekarang tinggalkan rakyat begitu saja," kata Sebastian.
Berbeda pendapat dengan Daoed, Sebastian mengatakan, politisi yang keluar karena alasan mengurus parpol masih dapat diberi apresiasi. Hanya saja, lanjut Sebastian, Ibas terlambat mengambil sikap tersebut lantaran sejak awal 2010 sudah menjadi Sekjen Demokrat.
"Orang seperti ini masih lebih baik dibanding mereka yang keluar karena pindah parpol. Ke depan, sebaiknya didorong agar petinggi-petinggi partai tidak pegang jabatan di eksekusif atau legislatif. Harus memilih, tidak bisa semua diambil, biar fokus," kata dia.
Sebastian menambahkan, sisi positif dari keluarnya mereka dari DPR yakni munculnya politisi baru. Biasanya, kata dia, anggota Dewan yang baru masih semangat dan memegang idealisme ketika menjalankan tugas.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute Gun Gun Heryanto menilai senada. Menurut dia, mereka yang keluar karena pindah parpol hanya mendahulukan ambisi kekuasaan dengan mengkhianati kepercayaan konstituen yang telah memilih.
Terkait banyaknya politisi yang pindah partai, Gun Gun menilai hal itu semakin membuktikan keroposnya partai dalam membangun proses kaderisasi. Langkah itu juga membuktikan pragmatisme para politisi.
"Pragmatisme itu bukan semata karena minimnya tingkat loyalitas pada basis konstituen, tetapi juga rapuhnya ikatan diri serta identifikasi pada partainya," kata Gun Gun.