KOMPAS.com- Keputusan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo memindahkan lokasi Islamic Solidarity Games dari Pekanbaru ke Jakarta pada awal pekan ini memang menjadi pukulan berat buat Riau, terutama pejabat pemerintah provinsi itu.
Gubernur Riau Rusli Zainal yang biasanya bersikap santun terhadap pejabat Jakarta pun kini tidak segan-segan mengungkapkan rasa kecewanya terhadap sang menteri. Rusli lantang menuding Roy tidak menghargai perjuangan Riau.
Pemindahan itu dianggap keputusan sepihak tanpa meminta pendapat atau persetujuan Riau yang sudah bersiap dua tahun lebih, sejak ditunjuk menjadi tuan rumah olimpiade negara-negara Islam itu. Orang dekat Rusli, Syamsurizal, bahkan mengajak rakyat Riau "melawan" keputusan Jakarta untuk mempertahankan status tuan rumah ISG itu. Mantan Bupati Bengkalis itu mengajak rakyat bersatu menolak keputusan Menpora.
Muara dari kekecewaan pejabat Riau itu sebenarnya hanya satu; marwah rakyat Riau terusik. Marwah buat masyarakat adat Melayu adalah sesuatu yang berkaitan dengan kehormatan, harga diri, atau nama baik. Marwah yang terusik, adalah kondisi yang menyakitkan.
Pada zaman dahulu, nyawa dapat dipertaruhkan untuk mempertahankan marwah. Pemindahan itu dapat diartikan bahwa Roy tidak menghormati rakyat Riau. Harga diri rakyat Riau, atau nama baik Riau, tercoreng. Bahkan boleh dikatakan, Menpora telah membuat malu rakyat Riau.
Roy pun tentunya punya alasan membatalkan Pekanbaru sebagai tuan rumah. Keputusan itu diawali dari sebuah kajian panjang, bahwa Riau dianggap tidak mampu bersiap sebagai wakil dari rakyat Indonesia. Harap dicatat, ISG bukan hanya mengatasnamakan Riau, melainkan seluruh rakyat Indonesia.
Dari kacamata Roy, yang dipertaruhkan saat ini bukan lagi sekadar marwah Riau, melainkan marwah yang lebih besar, yakni kehormatan Bangsa Indonesia. Kalau Riau tidak mampu, nantinya yang malu adalah rakyat Indonesia.
Persiapan Riau untuk even besar seperti ISG memang terkesan meragukan. Apalagi kalau berkaca dari persiapan Pekan Olahraga Nasional Riau 2012 yang amburadul. Sampai hari-H pelaksanaan PON, persiapan tuan rumah belum mendekati 90 persen. Bahkan, beberapa arena dan penginapan atlet terpaksa dipakai dengan kondisi ala kadarnya.
Rekor di cabang menembak bahkan tidak diakui karena minimnya peralatan penunjang. Kasus korupsi atau suap terhadap sejumlah anggota DPRD Riau menyangkut pembangunan arena PON membuat persiapan PON menjadi lebih kacau lagi.
Ternyata, dana pembangunan stadion utama PON Riau yang disebut-sebut masuk dalam kategori 16 terbaik dunia itu membengkak melebihi budget. Pemprov Riau berutang hampir Rp 200 miliar kepada kontraktor pelaksananya, konsorsium BUMN PT Adhi Karya, PT Waskita Karya, dan PT Pembangunan Perumahan.
Sampai saat ini, utang itu belum dibayar karena DPRD Riau tidak menyetujui anggaran tambahan yang dinilai ilegal. Kondisi itu semakin parah tatkala Gubernur Rusli Zainal ikut menjadi tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus suap PON itu. Rusli dianggap berperan aktif dalam penyuapan baik di tingkat lokal maupun di Jakarta.
Status Rusli itu membuat persiapan ISG di Riau berada pada lampu kuning. Pertanyaannya sekarang, apakah kalau ISG dipindahkan ke Jakarta persiapannya akan menjadi lebih mudah? Jawabannya pasti tidak.
Pengalaman selama ini telah membuktikan bahwa pemerintah negeri ini belum pernah mampu bersiap dengan baik. Lihat saja bagaimana persiapan pelaksanaan SEA Games di Jakarta dan Palembang pada tahun 2011 lalu. Sampai menjelang hari-H pelaksanaan, ajang olahraga terbesar negara-negara Asia Tenggara itu meninggalkan banyak persoalan. Betapa rakyat Indonesia dipaksa menunggu dengan jantung berdebar-debar apakah kita mampu menjadi tuan rumah dengan persiapan amburadul seperti itu?
Peran pemerintah pusat dalam ajang PON juga sangat terlambat. Sebulan menjelang PON, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, Menpora Andi Malaranggeng, Jaksa Agung Basrief Arief, Kepala Badan Pemeriksa Keurangan Pembangunan (BPKP) Mardiasmo dan Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP) Agus Rahardjo datang ke Pekanbaru hanya untuk melegalkan pengadaan barang dan peralatan pertandingan PON tanpa melalui proses lelang sebagaimana diamanatkan perundang-undangan.
Dalam pertemuan itu, Kompas mempertanyakan kepada para petinggi negara yang hadir di Pekanbaru itu, mengapa negara ini selalu saja menjalankan manajemen ala pemadam kebakaran disaat mempersiapkan even-even besar? Ketika api membesar, baru semuanya sibuk memadamkan api.
Kala itu, Agung enteng menjawab, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.
Kini, untuk mempersiapkan ISG yang akan diselenggarakan bulan September 2013, waktu yang tersedia hanya empat bulan. Pertanyaannya, apakah Menpora mampu mempersiapkan seluruh arena dan persiapan dengan baik di Jakarta?
Pengalaman pemerintah dalam dua tahun terakhir yakni menjelang SEA Games 2011 dan PON 2012 sudah membuktikan bahwa kita sebenarnya tidak mampu bersiap dengan baik. Lihatlag nanti, entah kebakaran macam apa lagi yang akan muncul menjelang September ini...