Oleh Bawono Kumoro
KOMPAS.com - Fakta mengejutkan terungkap dari hasil survei nasional terbaru sebuah lembaga riset dan konsultasi politik.
Melalui survei bertajuk ”Kecenderungan Swing Voter Pemilih Partai Menjelang Pemilu 2014” oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) tersebut terungkap bahwa hanya 15 persen pemilih Indonesia yang merasa memiliki kedekatan dengan partai politik. Sedangkan 85 persen pemilih merasa tidak memiliki kedekatan dengan partai. Mereka lazim disebut massa mengambang (floating mass).
Hasil survei itu mengindikasikan kian lemahnya hubungan antara pemilih dan partai. Para pemilih belum melekatkan diri terhadap partai tertentu. Dengan mudah mereka dapat berpindah-pindah pilihan dari satu partai ke partai lain. Tingkat partisipasi pemilih (voters turn out) yang terus mengalami penurunan juga menjadi indikasi dari belum mengakarnya partai di dalam masyarakat. Pada Pemilu 1999, tingkat partisipasi mencapai 93,3 persen, pada Pemilu 2004 menurun menjadi 84,9 persen, dan pada Pemilu 2009 tingkat partisipasi kembali merosot menjadi 70,99 persen.
Peningkatan jumlah massa mengambang di Indonesia saat ini tentu merupakan kabar buruk bagi agenda penguatan institusionalisasi partai. Pakar ilmu politik Scott Mainwaring mengatakan, di dalam sistem yang telah terinstitusionalisasi dengan baik, partai memiliki akar kuat di masyarakat. Ada ikatan ideologi yang kuat mengikat antara pemilih dan partai. Ikatan ini kemudian menumbuhkan loyalitas di hati pemilih sehingga partai mengakar kuat. Jadi, ikatan kuat antara pemilih dan partai merupakan salah satu aspek penting institusionalisasi partai politik (Mainwaring, 1996: 7-8).
Sulit dimungkiri bahwa peningkatan jumlah massa mengambang di Indonesia dewasa ini merupakan gambaran akumulasi rasa kecewa publik terhadap kinerja partai-partai. Jika sebuah partai melakukan kesalahan fatal, partai bersangkutan akan segera ditinggalkan. Hal itu kini dialami partai-partai besar, terutama Partai Demokrat. Kasus dugaan korupsi proyek Hambalang dan Wisma Atlet dilihat publik sebagai kesalahan paling fatal Partai Demokrat.
Peluang partai menengah
Peningkatan jumlah massa mengambang dan penurunan kepercayaan publik terhadap partai-partai besar sesungguhnya dapat dimanfaatkan partai-partai menengah, seperti PAN, PKB, PPP, PKS, Partai Gerindra, dan Partai Hanura, untuk memperbesar dukungan suara.
Diperlukan upaya serius sejak dini dari partai-partai menengah untuk memaksimalkan potensi suara massa mengambang agar dapat membuahkan keuntungan elektoral pada Pemilu 2014. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh partai-partai menengah adalah melakukan (kembali) positioning politik.
Di dunia marketing, positioning didefinisikan sebagai seluruh aktivitas yang bertujuan untuk menanamkan kesan di benak para konsumen agar mereka dapat melakukan diferensiasi antara satu produk dan produk lain. Produk yang dihasilkan akan direkam dalam bentuk citra (image) yang terdapat pada sistem kognitif para konsumen (Firmanzah, 2007: 157).
Jika konsep ini diadopsi ke dalam konteks persaingan politik, partai/kandidat—sebagai sebuah produk politik—dituntut mampu untuk menanamkan citra politik tertentu secara kuat di dalam benak pemilih. Untuk itu, ia harus memiliki sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan produk-produk politik lain. Keseragaman hanya akan menyulitkan pemilih untuk melakukan identifikasi. Mereka akan merasa tidak ada perbedaan signifikan antara satu produk politik dengan produk politik lain.
Permasalahan mendasar partai dalam melakukan positioning politik adalah penciptaan gambaran konsisten yang mengerucut pada satu tema tertentu. Tema itu bisa terkait program kerja partai, isu politik, dan pemimpin partai. Setiap partai harus berusaha menjadi dominan dan menguasai benak pemilih. Posisi kuat dalam benak pemilih akan membuat partai bersangkutan selalu diingat dan dijadikan referensi utama ketika mereka dihadapkan pada serangkaian pilihan politik (Firmanzah, 2007: 158-159).
Untuk itu, dalam melakukan positioning politik harus turut diperhatikan pula konteks kondisi riil di masyarakat. Apabila hal itu diabaikan, niscaya positioning politik yang dilakukan tidak akan memperoleh respons menggembirakan dari masyarakat. Terkait hal itu, mengingat penurunan kepercayaan publik terhadap partai-partai besar dipicu oleh keterlibatan sejumlah elite partai bersangkutan dalam kasus-kasus korupsi, merupakan sebuah pilihan strategis bila kemudian partai-partai menengah memosisikan diri mereka sebagai partai antikorupsi.
Jika partai-partai menengah berani dan konsisten mengambil positioning politik ini, pemilih akan melihat mereka sebagai antitesis dari partai-partai besar yang cenderung korup. Ketika suatu masalah korupsi mencuat otomatis masyarakat akan menjadikan partai-partai menengah sebagai bagian dari pemecahan masalah. Bahkan, bukan tidak mungkin potensi suara massa mengambang akan dapat dikonversi menjadi keuntungan elektoral pada Pemilu 2014.
Konsistensi
Perlu diingat positioning politik tidak dapat dibangun secara instan dalam jangka pendek. Menanamkan citra positif di dalam benak pemilih membutuhkan konsistensi jangka panjang. Hal ini karena masyarakat perlu melakukan proses pembelajaran guna dapat memahami posisi ideologis partai-partai. Karena itu, partai-partai menengah harus mulai melakukan positioning politik sejak dini.
Namun, realitas politik hari ini belum menunjukkan adanya langkah-langkah konkret dari partai-partai menengah untuk melakukan hal itu. Alih-alih menjadi antitesis dari partai-partai besar yang cenderung korup, partai-partai menengah ini justru mulai tertular virus korupsi.
Data Kementerian Dalam Negeri mengenai izin tertulis pemeriksaan terhadap anggota DPRD provinsi pada kurun 2004-2012 menunjukkan partai-partai menengah itu juga tidak luput dari jeratan kasus korupsi. Tercatat politisi asal PPP berjumlah 40 orang (9,28 persen), PAN 23 orang (5,34 persen), PKB 16 orang (3,71 persen), dan PKS 10 orang (2,32 persen).
Sementara itu, data Kemendagri mengenai izin tertulis pemeriksaan terhadap anggota DPRD kabupaten/kota mencatat politisi asal PPP berjumlah 39 orang (7,08 persen), PKB 30 orang (5,59 persen), PAN 28 orang (5,22 persen), Partai Hanura 28 orang (5,22 persen), PKS 27 orang (5,03 persen), dan Gerindra 19 orang (3,54 persen).
Data di atas menunjukkan belum ada usaha sungguh-sungguh dan konsistensi dari partai-partai di Indonesia untuk menghindarkan diri dari jeratan korupsi. Padahal, kesediaan pemilih untuk mengikatkan diri pada satu partai tertentu akan terjadi apabila partai bersangkutan terbukti mampu menjaga konsistensi perjuangan, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Ketidakmampuan menjaga konsistensi akan membuat pemilih berpikir seribu kali untuk mengikatkan diri pada partai tersebut. Inilah sebab utama peningkatan jumlah massa mengambang di Indonesia dewasa ini. Kegagalan partai melakukan itu akan terekam di dalam memori kolektif publik. Lebih dari itu, reputasi yang telah memburuk akan sulit untuk dipulihkan.
BAWONO KUMORO Peneliti Politik The Habibie Center dan Fellow Paramadina Graduate School of Political Communication