KOMPAS.com — Di tangan Eddy Mattualy (56), minyak gosok cap Tawon berkembang. Salah satu produk khas dari Makassar, Sulawesi Selatan, ini diekspor ke pelbagai negara. Agen penjualan minyak gosok itu juga tumbuh subur di pelbagai kota. Tidak heran kalau di Belanda dan China, sekadar menyebut contoh, produk minyak gosok cap Tawon yang diracik sejak 100 tahun lalu itu bisa ditemukan.
Eddy yang mewarisi usaha minyak gosok cap Tawon dari orangtuanya sejak tahun 1977 ini menggabungkan teori ekonomi yang diperolehnya di ruang kuliah dengan intuisi bisnis yang dia pelajari dari keluarganya. Maklum, sejak berusia enam tahun, dia sudah terbiasa melihat bagaimana ayah dan ibunya berdagang. Secara langsung ia belajar dari ayahnya bagaimana menangani pabrik, berbisnis, dan menjalin hubungan dengan pelbagai kalangan.
Sukses Eddy meneruskan usaha warisan tersebut sekaligus mematahkan asumsi bahwa grup usaha di Indonesia hanya mampu bertahan sampai generasi kedua, atau paling lama generasi ketiga. Sekarang pun dia sudah mempersiapkan putranya, Yupic Mattualy, untuk bersiap-siap meneruskan usaha minyak gosok ini. ”Saya berharap dia bisa membawa usaha ini berkembang lebih baik dibandingkan masa saya,” kata Eddy.
Meskipun ”sekadar” minyak gosok, menurut Eddy, keluarganya tetap bangga pada produk tersebut. Selain bisa memberi lapangan kerja kepada orang lain, produk usaha ini pun bermanfaat bagi kesehatan banyak orang. ”Kami bisa bertahan sampai 100 tahun lebih, berarti produk minyak gosok ini memang ada manfaatnya,” ujarnya.
Eddy lalu bercerita tentang salah satu pengalamannya. Suatu hari di sebuah kota di Puerto Riko, ia kaget menemukan minyak gosok cap Tawon dijual di sebuah toko.
Iseng-iseng dia bertanya kepada penjualnya tentang kegunaan minyak gosok tersebut, dan ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Bahkan, pemilik toko itu menyatakan keinginannya untuk bertemu produsen minyak gosok tersebut.
"Orang itu senang karena minyak gosok ini berguna buat kesehatannya,” kata Eddy, yang lalu menyatakan dialah produsen minyak gosok cap Tawon. Sang pemilik toko sempat terperangah beberapa saat. Mereka lalu berkenalan.
Ketika Eddy hendak membayar harga belanjaannya, si pemilik toko menolak uluran uang yang dia berikan. ”Itu peristiwa yang membawa kesan mendalam untuk saya dan keluarga,” ujar Eddy di Makassar, beberapa waktu lalu.
Minyak gosok produksi Indonesia ternyata tidak hanya dinikmati oleh masyarakat di Tanah Air. Minyak gosok cap Tawon, misalnya, juga ditemukan di beberapa negara di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat. Akan tetapi, semua itu tetaplah membutuhkan sebuah perjalanan panjang.
Turun-temurun
Menurut Eddy, minyak gosok cap Tawon didirikan oleh sang kakek, Lie A Liat, di Makassar pada 6 Desember 1912. Ketika itu, cerita sang kakek kepada Eddy, Makassar sudah menjadi bandar yang ramai, dengan penduduk sekitar 250.000 jiwa.
Lie A Liat dibantu sejumlah kerabatnya tak hanya puas memasarkan produknya di sekitar Kota Makassar. Mereka juga berusaha memasarkan minyak gosok racikannya itu hingga ke daerah pedalaman di Pulau Sulawesi. ”Kakek saya juga membawa minyak gosok ini sampai ke Surabaya dan Jakarta. Awalnya nama minyak gosok ini bukan cap Tawon, tetapi TO Boo Loeng,” tutur Eddy.
Ketika Lie A Liat meninggal, usaha minyak gosok diteruskan oleh salah seorang putranya, yakni Frans Bani Mattualy. Dia menjadi pemimpin gerbong generasi kedua yang membuat minyak gosok TO Boo Loeng lebih dikenal masyarakat Indonesia.
Tahun 1984, merek TO Boo Loeng diganti, sesuai dengan pergantian nama perusahaannya, yakni PT Tawon Jaya Makassar. ”Merek produknya juga berganti menjadi minyak gosok cap Tawon,” kata Eddy.
Frans Bani Mattualy meninggal tahun 1977, dan bisnisnya dilanjutnya oleh Eddy, putranya.
”Regenerasi dalam usaha ini relatif mulus, mungkin karena ini perusahaan keluarga. Selain disiplin, dalam keluarga kami juga ditekankan pentingnya ketaatan dan patuh kepada orangtua. Mungkin semua itulah yang kemudian membuat kami berusaha mengembangkan warisan yang ditinggalkan leluhur,” tutur Eddy.
Pengalaman yang diperoleh Eddy dari orangtuanya dahulu, misalnya, ia terapkan pula kepada anaknya. Kepiawaian Eddy meracik minyak gosok, misalnya, dia tularkan kepada Yupic.
”Sejak dia (Yupic) masih murid SD sudah sering saya bawa ke pabrik dan kantor. Saya biasakan dia menghirup aroma minyak gosok ini, juga merasakan suasana kerja di kantor dan pabrik. Jadi, ketika remaja dia sudah tahu seluk-beluk bisnis minyak gosok keluarganya,” tutur Eddy.
Enggan pensiun
Bahan dasar minyak gosok itu sederhana saja, yakni minyak kelapa. Minyak tersebut lalu dimasak dengan berbagai rempah untuk diambil ekstraknya. Ekstrak itulah yang kemudian dicampur lagi dengan minyak atsiri, lalu disaring, kemudian dikemas dalam botol.
”Untuk bahan bakunya, sampai sekarang kami tidak menemui kesulitan yang berarti. Mungkin karena bahan pembuatan minyak gosok ini dari rempah-rempah yang mudah didapatkan di Tanah Air,” ujar Eddy.
Selain mempertahankan kualitas produk, Eddy juga meneruskan tradisi keluarganya dengan memperlakukan karyawan sebagai bagian dari keluarga besarnya. ”Saya bisa bercanda dengan anak buah, baik yang di pabrik maupun di toko,” ujar Eddy yang mempekerjakan tak kurang dari 120 orang itu.
Tradisi lain yang tetap dia jalankan di lingkungan perusahaan adalah mempekerjakan karyawan senior. Di perusahaannya, ada karyawan yang tetap bekerja kendati sudah berusia 82 tahun. Sebagian karyawannya juga sudah bekerja di perusahaan itu lebih dari 50 tahun.
”Mereka menolak pensiun karena menganggap bekerja di sini sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Usaha ini adalah bagian dari rumah mereka juga,” ungkap Eddy.
Tidak heran kalau ada di antara karyawan perusahaan ini yang terdiri dari kakek sampai cucunya. ”Karyawan mengenal keluarga kami, kami pun mengenal mereka,” kata Eddy yang mengizinkan karyawan senior tetap bekerja meskipun hanya setengah hari. Alasan dia, mereka sudah menjadi bagian dari sejarah panjang perusahaan minyak gosok ini, lebih dari 100 tahun.