Catatan Kaki
Jodhi YudonoHari Sabtu (31/8/13) besok, kami warga kota Tangerang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah untuk memilih Walikota. Maka, tiap kali berlangsung peristiwa politik semacam Pilkada tersebut, terkenanglah saya pada sosok seorang kawan yang sekaligus tetangga saya yang kini telah tiada. Dia bernama Samsudin, tapi biasanya saya memanggilnya kawan Sam.
Bagi saya, kawan Sam adalah contoh nyata tentang kesetiaan dan kepolosan yang berbalas air tuba. Gambaran khas rakyat kebanyakan yang disayang-sayang menjelang Pemilu oleh kaum politisi, tapi setelah mereka berkuasa langsung dilupakan. Syukurlah, masyarakat kini kian cerdas, sehingga mereka punya jurus jitu untuk juga mengakali politisi yang hanya bermodalkan uang, tapi tak menyertakan ketulusan untuk berpihak kepada rakyat.
Inilah kenangan saya atas Kawan Sam.
Januari 2004.
Saya tak menyangka, beginilah jadinya nasib kawan saya yang bernama Sam. Si pemberani dari Gorontalo yang dulu gigih mengibarkan bendera salah satu partai saat kampanye, kini bagai besi tua yang karatan.
Pada sebuah sore di akhir bulan Januari saya sengaja menengok kawan Sam. Selain kangen, belakangan saya dengar kesehatanya juga makin menurun. Seperti biasanya, ia masih setia menunggu posko yang terletak persis di depan rumah kontrakannya dan berjarak sekitar sepuluh meter dari sekolah Taman kanak-kanak (TK) kebanggaan warga perumahan. Posko itu dulu ia dirikan bersama teman-teman dia, termasuk saya.
Tapi lihatlah sore itu. Badan kawan Sam tampak lebih kurus, lantaran diabetes menggerogoti tubuhnya. Jalannya pun tak tegap lagi dan sedikit sempoyongan, akibat strooke yang pernah menyerang dirinya setahun lalu.
Syukurlah, masih ada bara dalam hidupnya. Sehingga saya masih merasai kehangatan matanya saat menyalaminya.
Inilah mungkin hasil terapi tiap pagi yang ia jalani sendiri dengan cara berjalan tanpa alas kaki mengelilingi kompleks perumahan. Selesai jalan pagi, ia berjemur hingga keringatnya menitik dari kulit yang membungkus raganya nan tipis.
Tahun-tahun gemilang sebagai pegawai pengiriman barang di pelabuhan Tanjung Priok, sebagai kepala seksi keamanan perumahan, dan ujung tombak simpatisan partai, kini berganti hari-hari nestapa.
Kesialan datang bertubi-tubi pada kehidupan kawan Sam. Pertama-tama, perusahaan tempatnya bekerja bangkrut dan membuat kawan Sam kehilangan pekerjaan. Berikutnya, setelah partai yang dibelanya menang dalam Pemilu, ia pun dicampakkan oleh orang-orang partai yang dulu didukung oleh kawan Sam habis-habisan.
Untunglah, kawan-kawan se-perumahan masih tetap hormat kepadanya. Di antaranya saya, yang masih setia mengunjunginya tiap ada waktu luang. Untung pula sang istri dan putri sulungnya bekerja, sehingga dapur kawan Sam masih tetap terjaga asapnya.
Perjuangan kawan Sam sebagai seorang lelaki dan sebagai kepala rumah tangga dari seorang istri dan dua anak, rupanya telah berada di ujung jalan. Upayanya untuk bisa bermartabat lewat pekerjaan dan usaha, mentok sudah.
Usianya yang telah lewat setengah abad dan kesehatannya yang kian buruk menyebabkan pintu kantor yang dimintai pekerjaan tertutup rapat baginya. Usaha ternak cacing yang semula ia sangka bakal sukses, justru membuatnya kecewa lantaran pengepul hasil produksi cacing selalu menurunkan harga beli tiap kali musim panen cacing. "Sudah kagak imbang antara tenaga yang dikeluarkan dengan harga jual," ujar kawan Sam saat membongkar para-para untuk sarang cacing di garasi rumah kontrakannya.
Kendati dirinya merasa telah menjadi gombal yang tak terpakai, toh lelaki ini masih bersyukur. Pertama, lantaran isteri dan dua anaknya masih tetap sayang kepadanya. Kedua, masih ada orang seperti Pak Man yang merelakan rumahnya dikontrak oleh keluarga Sam selama bertahun-tahun.
"Besok mau pilih partai apa," tanya kawan Sam setelah dirinya bercerita soal kesehatannya.
Saya gelagapan, sebab saat itu saya belum juga mendapat gambaran yang terang tentang 24 partai peserta Pemilu 2004 dan para calon anggota parlemen yang akan dipilih. Sejauh ini saya baru mendapati gambar para pemimpin partai yang itu-itu juga, yang sebagian di antaranya justru membuat kecewa hati saya.
"Entahlah," jawab saya setelah gagal menemukan bayangan partai yang akan saya pilih.
"Kalau anda?...," saya balik bertanya.
"Sama, saya juga masih bingung," jawab kawan Sam.
"Tapi anda masih setia menjaga posko ini?"
"Bukan berarti saya masih setia kepada partai yang dulu saya pilih, toh?"
"Lalu keberadaan posko ini, bukankah itu pertanda anda masih..."
"Sayang kalau saya bongkar. Bisa buat istirahat ibu-ibu yang menunggu anak-anaknya pulang dari TK di sebelah," kata kawan Sam yang telah menurunkan semua simbol partai yang dulu dibelanya sekaligus mengganti warna cat posko yang dulu sewarna, dengan warna aneka rupa.
"Wah, ada juga manfaatnya ya?"
"Lumayan. Kalau siang hari para pedagang keliling juga bisa istirahat di sini."
Ah, kawan Sam. Mestinya orang seperti anda inilah yang layak duduk sebagai wakil saya di gedung parlemen. Dalam keadaan tak berdaya, anda masih tetap ingat kebutuhan orang lain.
Lihatlah posko kawan Sam ini. Selain tetap terjaga kebersihannya, di sekitar posko juga ditanami tanaman pelindung dan tumbuhan tapak dara yang bunganya putih. Asri sekali.
Ketika posko ini baru didirikan dulu hingga menjelang Pemilu 1999, tiap malam tempat ini tak pernah sepi dikunjungi orang-orang partai. Tak cuma orang-orang dari partai pilihan kawan Sam, tapi juga orang dari partai lain yang merasakan "keramahan" posko yang didirikan oleh kawan Sam.
Setelah kenduri Pemilu 1999 usai, orang-orang partai yang didukung oleh kawan Sam tak satu pun yang datang ke posko. Selanjutnya, kawan Sam cuma mendengar kabar tentang orang-orang yang didukungnya itu telah makmur hidupnya. Sebagian jadi anggota parlemen, sebagian menduduki jabatan penting di partai, sebagian lainnya lancar usahanya sebagai bagian dari "berkah" kemenangan partai.
Awalnya sempat juga kawan Sam kecewa dengan orang-orang partai yang telah "meninggalkannya". Bahkan ketika berkali-kali kawan Sam sakit, tak seorang pun kawan-kawan partainya yang telah makmur membezoeknya.
Saya sempat menyesal juga, kenapa dulu kawan Sam saya ajak ke rumah ketua partai yang dipujanya itu. Sebab, setelah ia bersalaman dengan ketua partai itu, kawan Sam yang nasionalis tulen itu langsung berikrar akan membela dan mendukung partai itu tanpa reserve.
Didorong oleh loyalitas yang tinggi terhadap partai dan ketuanya, ia pun rela berjalan berkilo-kilo untuk menghadiri pertemuan partai. Kadang kawan Sam juga pergi berhari-hari meninggalkan keluarga, tentu saja demi partai pilihannya.
Tapi waktu, membuatnya belajar banyak. Ia mendadak menemukan dirinya dan juga simpatisan partai lainnya bagai daun pembungkus nasi yang tergeletak di tengah lapangan setelah kenduri pemilu berakhir.
Kesetiaan dan ketulusan kawan Sam ternyata cuma ditukar dengan kaus oblong dan bendera partai yang ia kibarkan tinggi-tinggi di atas rumahnya saat kampanye dulu.
Hiks..., saya jadi ingat kawan saya yang bernama Iwan Fals. Dulu dia juga simpati luar biasa pada pemimpin partai itu. Sampai-sampai ia minta saya antar ke rumah beliau malam-malam untuk bersalaman dengan pemimpin partai itu. Terus, Iwan juga sempat membuatkan lagu yang indah buat si ketua partai. Alangkah kagetnya saya, ketika setahun kemudian saya mendengar lagu yang berisi sanjung puja buat si ketua partai itu, syairnya sudah diganti. Saat saya tanya, "Ke mana simpatimu buat beliau?" Iwan cuma tersenyum kecut.
Ah.., betapa banyak dari kita dulu terjebak pada suasana emosional yang kini justru membuahkan kekecewaan.
"Jadi mau pilih apa, nih?," tanya kawan Sam mengagetkan lamunan saya.
"Pilih apa ya... Ah, saya akan pilih kawan Sam saja."
"He he he..uhuk! Uhuk!"
"Kenapa tertawa, saya serius loh."
"Masa milih orang sakit."
"Cuma sakit fisik, bisa disembuhkan. Ketimbang memilih orang-orang yang sakit jiwa. Susah obatnya."
Kami pun tertawa bersama-sama. Senang hati saya bisa membuat kawan Sam tertawa terbahak-bahak hingga tubuhnya berguncang-guncang.
Saat pamitan, kawan Sam masih bertanya pilihan saya di pemilu mendatang. Sambil mengepalkan tangan, saya teriak keras-keras, "Sekali kawan Sam, tetap kawan Sam!"
Di dalam hati, saya berjanji akan menghibur beliau di rumahnya. Saya akan meminta izin kepada istri kawan Sam untuk menyelenggarakan konser kecil-kecilan buat beliau yang dihadiri para tetangga. (http://www.youtube.com/watch?v=C8DQ4XgW51o)
Senja memang telah tiba, tapi saya justru melihat matahari baru saja terbit di mata kawan Sam lantaran kegembiraan yang membuatnya tertawa berguncang-guncang.
Ha ha ha... Uhuk!
@JodhiY
Editor : Jodhi Yudono